Aksi demonstrasi dan protes yang melibatkan mahasiswa serta masyarakat di berbagai kota di Indonesia selalu menjadi sorotan. Gerakan ini sering kali dianggap sebagai penyalur aspirasi rakyat yang tertekan. Namun, pertanyaan besar muncul ketika aksi-aksi tersebut berujung pada eskalasi dan kerusuhan, seperti pembakaran dan penjarahan. Banyak yang menduga ada aktor di balik layar yang ‘menunggangi’ gerakan murni ini. Mengapa hal ini bisa terjadi, dan apa tujuan di baliknya? Berikut ini podcast bersama analisis dari pengamat politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto.
Protes yang Berawal dari Keresahan Rakyat
Menurut Andi Ali Armunanto, aksi protes yang meletus di berbagai daerah seperti Jakarta dan Makassar bukanlah kejadian yang tiba-tiba. Keresahan di masyarakat sudah memuncak sejak awal tahun. Ada serangkaian kebijakan pemerintah yang dinilai memperlambat ekonomi masyarakat. Contohnya, pengurangan transfer dana dari pusat ke daerah yang menyebabkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di banyak tempat, hingga kelangkaan beras yang menjadi kebutuhan pokok.
Puncaknya, kemarahan publik tersulut oleh narasi yang sengaja diciptakan—mengenai kenaikan gaji anggota DPR yang beredar di media sosial, di tengah kesulitan ekonomi yang luar biasa. Gelombang protes ini pun bermunculan di mana-mana sebagai respons atas ketidakberdayaan dan kesulitan hidup yang dirasakan masyarakat.
Aksi Ditunggangi, Bukan Dibuat
Andi Ali Armunanto menegaskan bahwa gerakan ini tidak didalangi, melainkan “ditunggangi”. Istilah “ditunggangi” di sini memiliki arti bahwa ada pihak-pihak yang melihat situasi ini sebagai peluang dan kemudian memanfaatkannya. Tujuannya, bukan untuk makar terhadap pemerintah, melainkan justru untuk mendelegitimasi gerakan sosial yang awalnya murni dari suara rakyat.
Ketika kerusuhan dan penjarahan terjadi, gerakan ini menjadi sasaran tuduhan makar dan berbagai stigma negatif lainnya. Hal ini secara langsung merusak citra pergerakan dan mengurangi simpati publik. Pada akhirnya, hak rakyat untuk melakukan protes – yang dianggap sebagai satu-satunya saluran penyampaian aspirasi – menjadi terambil.
Kejanggalan di Balik Kerusuhan dan Peran Aparat yang Dipertanyakan
Salah satu kejanggalan yang paling disoroti adalah minimnya kehadiran aparat keamanan saat kerusuhan terjadi. Andi Ali Armunanto menyoroti kasus pembakaran kantor DPRD Sulawesi Selatan, di mana tidak ada barikade atau polisi berseragam di lokasi. Padahal, kantor tersebut merupakan fasilitas penting negara. Bahkan, seorang teman dekatnya yang anggota DPR mengungkapkan bahwa tidak ada informasi intelijen mengenai pergerakan massa hari itu.
Kejadian serupa juga terjadi di berbagai kota lain seperti NTB, Kediri, Solo, dan Surabaya, di mana polisi seakan “menghilang” dan tidak berupaya maksimal untuk mencegah kerusuhan. Alasan yang muncul bahwa polisi “kewalahan” atau ditarik karena khawatir menjadi sasaran dianggap tidak profesional. Andi Ali Armunanto menekankan bahwa polisi harus hadir dalam kondisi apa pun untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Ketidakhadiran mereka selama dua hari bahkan membuat kekacauan meluas dan memicu kejadian serupa di tempat lain.
Medelegitimasi Gerakan dan Mengaburkan Substansi Masalah
Aksi-aksi yang ditunggangi ini justru mengaburkan substansi dari permasalahan utama yang dihadapi masyarakat. Tuntutan-tuntutan yang awalnya konkret, seperti perbaikan ekonomi, menjadi abstrak dan tidak jelas. Hal ini mengalihkan fokus dari masalah utama, yaitu ketimpangan sosial yang sangat jauh dan ekonomi yang melambat.
Pada akhirnya, citra gerakan sosial menjadi buruk di mata publik. Gerakan protes kini berisiko dianggap sebagai aksi anarkis, tidak punya makna, atau bahkan sebagai upaya makar. Padahal, protes adalah instrumen politik warga yang harus dijaga.
Pendekatan Humanis: Solusi untuk Menjaga Demokrasi
Andi Ali Armunanto menawarkan solusi untuk menghadapi demonstrasi yang terus terjadi di negara demokrasi. Alih-alih menggunakan pendekatan represif dengan pakaian anti huru-hara dan barikade kawat berduri, ia mengusulkan pendekatan yang lebih humanis.
Polisi harus melihat para pendemo, terutama mahasiswa, sebagai pihak yang bisa diajak berdialog, bukan sebagai musuh. Pendekatan simpatik, seperti yang dicontohkan oleh seorang Kapolres yang turun langsung dan membuka pintu untuk berdiskusi, dapat meredakan ketegangan secara signifikan. Lebih dari itu, dibutuhkan sinergi dari seluruh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk hadir dan menghadapi massa dengan senyuman, karena mereka adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.
Reformasi Total: Jalan Keluar Menyeluruh
Masalah inti dari semua keresahan ini, menurut Andi Ali Armunanto, adalah lembaga politik yang tidak tersentuh reformasi. Partai politik sebagai lembaga vital yang merekrut calon pemimpin, mulai dari presiden hingga bupati, belum direvitalisasi.
Dengan mereformasi partai politik, diharapkan proses rekrutmen dan kaderisasi dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Ketika para pejabat publik ini sudah benar, kebijakan yang dikeluarkan tidak akan kacau seperti yang terjadi saat ini. Ini adalah sumber utama masalah yang harus ditangani agar keresahan masyarakat dapat teratasi secara fundamental.
Kesimpulan
Aksi protes di Indonesia merupakan cerminan dari keresahan mendalam masyarakat. Namun, gerakan murni ini kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ‘menungganginya’ untuk tujuan mendelegitimasi. Minimnya profesionalitas aparat dalam mengamankan aksi dan ketidakfokusan pada substansi masalah justru memperkeruh keadaan. Untuk menjaga instrumen demokrasi ini tetap sehat, dibutuhkan pendekatan yang lebih humanis dari pihak keamanan dan, yang terpenting, reformasi menyeluruh pada lembaga partai politik sebagai akar dari segala permasalahan kebijakan.