Aksi Demonstrasi Makassar 29 Agustus: Ketika Kekecewaan Berujung Api

197

Pada 29 Agustus, Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi saksi bisu dari puncak kekecewaan publik yang berujung pada peristiwa tragis: terbakarnya gedung DPRD. Aksi demonstrasi yang telah berlangsung sejak 24 Agustus ini, awalnya dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR dan kebijakan pemerintah, seperti tingginya pajak. Namun, puncaknya pada malam 29 Agustus, ketika api melalap gedung perwakilan rakyat, menjadi sorotan nasional.

Akar Masalah: Mengapa Demonstran Membakar Ban?

Aksi unjuk rasa di Makassar dikenal memiliki karakter yang keras. Minimal, selalu ada aksi bakar ban. Menurut Didit Haryadi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, aksi bakar ban atau tindakan keras lainnya sering dilakukan demonstran agar para pejabat publik, termasuk anggota dewan, mau menemui mereka dan mendengarkan aspirasi.

Namun, serangkaian demonstrasi yang dimulai sejak 24 Agustus hingga puncaknya pada 29 Agustus tidak menemui hasil. Para demonstran merasa muak karena tidak ada satu pun pejabat publik, termasuk anggota dewan, yang bersedia menemui mereka. Bahkan, komentar-komentar dari anggota dewan yang dianggap tidak pro-rakyat semakin memicu kemarahan.

Puncak kekecewaan ini terjadi pada malam hari 29 Agustus, saat para demonstran mengetahui adanya rapat paripurna di gedung DPRD Makassar. Rapat ini dihadiri oleh Walikota, Wakil Walikota, dan seluruh anggota dewan. Informasi ini semakin mendorong massa untuk datang langsung ke gedung tersebut, meskipun mereka sudah tidak lagi melakukan orasi.

Kronologi Malam Mencekam: Ketika Aparat Menghilang

Sebelum menuju gedung DPRD, massa berkumpul di depan Universitas Negeri Makassar (UNM) di Jalan Pangeran Petarani dan sempat melakukan aksi blokade jalan nasional. Mereka juga sempat membakar pos polisi lalu lintas di pertigaan Jalan Pangeran Petarani dan Jalan Alaudin.

Pada malam 29 Agustus, situasi menjadi semakin tidak terkendali. Lampu jalan di sekitar lokasi tiba-tiba padam, membuat suasana gelap. Saat itulah, Didit Haryadi mencatat bahwa sudah tidak ada lagi demonstran yang mengenakan almamater. Massa yang tersisa menutup wajah mereka dengan kain, dan sulit untuk diidentifikasi. Tidak jelas apakah ada penyusup yang menunggangi aksi mahasiswa saat itu.

Yang paling mengejutkan, saat massa bergerak ke gedung DPRD Makassar, tidak ada aparat penegak hukum yang berjaga di lokasi tersebut. Pihak kepolisian yang sempat berjaga pada sore hari, ditarik mundur karena mereka lebih khawatir kantornya akan dibakar. Beberapa aparat lain juga bergeser untuk menjaga massa di kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel yang juga terbakar. Akibatnya, gedung DPRD Makassar kosong dari penjagaan, sehingga massa dapat dengan bebas masuk dan membakar gedung.

Ketiadaan aparat penegak hukum ini menjadi sorotan utama. Bahkan, para jurnalis di lapangan merasa bingung ke mana perginya polisi. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) kemudian menjelaskan bahwa penarikan mundur ini dilakukan karena jumlah massa yang tidak sebanding dengan jumlah personel yang ada.

Dampak dan Kerugian: Bukan Sekadar Bangunan Terbakar

Peristiwa ini menelan korban jiwa. Seorang fotografer DPRD, almarhum Abay, tewas dalam insiden tersebut. Selain itu, ada tiga sepeda motor milik jurnalis yang terbakar di dalam halaman gedung DPRD. Para jurnalis tersebut tidak sempat menyelamatkan motor mereka karena tidak menyangka massa dari UNM akan bergerak ke sana dan melakukan pembakaran.

Meskipun ada insiden pembakaran motor, AJI Makassar tidak menerima laporan adanya kekerasan terhadap jurnalis. Hal ini berbeda dengan insiden demonstrasi di Jakarta. Menurut Didit, hal ini karena tidak ada aparat penegak hukum yang berjaga di lokasi, sehingga para jurnalis bisa dengan leluasa mengambil gambar.

Selain gedung dan motor, fasilitas publik lain juga menjadi sasaran, seperti pos polisi dan truk-truk di sekitar lokasi. Sementara itu, polisi terus melakukan penyelidikan untuk menemukan tersangka yang bertanggung jawab atas pembakaran.

Setelah Api Padam: Menuntut Keadilan dan Perubahan

Meskipun gedung DPRD terbakar, perjuangan para mahasiswa dan masyarakat tidak berhenti. Mereka masih memikirkan cara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka, yang dikenal sebagai tuntutan 17+8, mengingat gedung perwakilan rakyat tidak dapat lagi digunakan.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa demonstrasi di Makassar tidak hanya sebatas aksi protes, tetapi juga cerminan dari akumulasi kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintah. Aksi bakar ban, yang sering dianggap sebagai hal biasa, sebenarnya adalah upaya terakhir untuk menarik perhatian para pejabat yang seolah-olah mengabaikan rakyat. Peristiwa 29 Agustus 2025 menjadi pengingat yang menyakitkan akan pentingnya dialog, akuntabilitas, dan responsivitas dari para wakil rakyat.